Oleh: Agam Pamungkas Lubah
Raden Adipati Kartanegara/Kartanata Nagara bin R.H. Muh Tohir (Aulia Kampung Baru/Bogor) bin R.A. Wiradiredja (Regent Bogor) bin R.A. Wiradinata (Regent Bogor) bin Dalem Wiratanu II (Regent Tjiandjur II), Tarikolot Cianjur.
R.A. Kartanata Nagara lahir di Jasinga Bogor dari pasangan Raden Haji Tohir, Penghulu Buitenzorg 1826-1849, buyut Raden Aria Wiramangala (Wiratanu II) dan Nyi Hj. Ratu Syarifah puteri bungsu Pangeran Sogiri bin Syech Yusuf Al Makassari dari pernikahannya dengan Siti Hafidzah Syarifah Ratu Aminah (Ratu Ayu Gede) binti Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten: 1651-1683). *(Masih butuh rujukan)
Ia lahir dan dibesarkan di Soekahati (Empang) Bogor bersama dengan 19 kakak beradik lainnya, di antaranya adalah R.A. Wiranata/Dalem Sepuh Bogor Bupati Buitenzorg 1815-1849; R.H. Puradiredja, Demang Tjibinong (1841-1858); RTmg. Sastranegara, Bupati Purwakarta 1849-1854; R.A. Prawiranata, Aria Patjet.
Ia dibesarkan keluarga dengan didikan agama Islam yang taat dan adat istiadat ningrat Sunda Pajajaran yang santun. Ia hidup bersama keluarga besar ningrat Cianjur (Wiratanu II) dan ningrat Banten (Pangeran Sogiri) yang menjadi pemimpin di wilayah bekas kerajaan Pajajaran yang bernama Kampung Baru alias Buitenzorg alias Bogor.
Karier dan Prestasi
Raden Tumenggung (RT) Adipati Kartanata Nagara adalah Bupati Lebak kedua. Kartanata Nagara menjabat tahun 1830 hingga 1865. Sebelum menjadi bupati, pada 1829 Kartanata Nagara menjabat Demang di Jasinga, Kabupaten Bogor. Saat menjadi Demang, Kartanata Nagara mengalahkan pasukan Nyimas Gamparan yang menurut versi Pemerintah Hindia Belanda merupakan pengacau keamanan.
Saat itu, pasukan Nyimas Gamparan mau masuk Lebak melalui jalur Cikande, Serang. Usaha Nyimas Gamparan berhasil dihadang oleh Kartanata Nagara. Berawal dari keberhasilan mengalahkan Nyimas Gamparan akhirnya Pemerintah Hindia Belanda menganugerahi Kartanata untuk menjadi Bupati Lebak menggantikan Pangeran Senjaya di tahun 1830.
Namun sayang, di balik kariernya yang gemerlap menyimpan gejolak masyarakat yang cukup luas. Di mana kesejangan ekonomi dan kerja paksa serta beban pajak yang sangat menyengsarakan rakyat atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan olehnya membuat rakyat merasa tertindas.
Hal inilah yang kemudian melahirkan buku: “Max Havelaar” karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker) yang menceritakan tentang penindasan dan penderitaan kaum pribumi di Lebak, Banten, akibat kebijakan-kebijakannya selama masa pemerintahan kolonial Belanda.
Bupati Lebak kedua ini dimakamkan di Kompleks Pemakaman Kampung Kaum Pasir, Kelurahan Rangkasbitung Barat, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak-Banten. Tepat di belakang Masjid Agung Al-A’raaf. ***