Oleh: Agam Pamungkas Lubah
Pangeran Arya Purbaya dari Banten adalah putra dari Sultan Ageng Tirtayasa, Raja Banten yang memimpin perlawanan melawan VOC. Ia mendukung ayahnya dan diangkat menjadi putra mahkota saat Sultan Haji memihak VOC, namun akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan Banten jatuh ke tangan VOC, lalu VOC mengangkat Sultan Haji, saudara dari lain ibu menjadi pewaris tahta Kesultanan Banten.
Terlahir dari pasangan Sultan Ageng Tirtayasa (Raja Banten) dan I Fatimah Daeng Takontu (Ratu Ayu Gede, Putri Sultan Hasanuddin raja Goa Makassar). Beliau anak bungsu dari tiga orang bersaudara yakni, Arya Abdul Alim, Ingayujapura (Ingayudipura) dan Arya Purbaya. Sedari kecil bakat kepemimpinan beliau sudah terlihat lebih menonjol dari beberapa saudara kandungnya dan saudara lain ibunya. Jiwa kesatrianya mengalir dari darah ibunya yang merupakan Pemimpin Pasukan Perang Wanita (pasukan Bainea) dari Kesultanan Gowa Makassar yang dikenal tangguh di lautan saat berperang melawan VOC di laut Bima dan Maluku. Belum lagi ia mendapat ilmu agama yang mumpuni yang diajarkan langsung oleh pamannya sendiri yakni Syech Yusuf al Makassari Tajul Khalwati yang saat itu didapuk sebagai mufti Kesultanan Banten.
Setelah beranjak dewasa, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengangkat putra mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang dikenal dengan Sultan Haji menjadi pembantu ayahnya (Sultan Ageng) untuk mengurus urusan dalam negeri Kesultanan Banten.
Sedangkan Pangeran Arya Purbaya membantu ayahnya untuk mengurus urusan luar negeri dan berkedudukan di keraton kecil di Tirtayasa.
Pemisahan pengurusan tata pemerintahan itu tercium oleh wakil VOC W. Chaeff yang menghasut Sultan Haji untuk mencurigai posisi adiknya yaitu Arya Purbaya, karena dapat mendominasi pemerintahan dan Sultan Haji tidak bisa naik tahta, atas hasutan itulah terjadi persekongkolan antara Sultan Haji dan VOC.
Pada Bulan Mei 1680 Sultan Haji mengutus perwakilan untuk bertemu dengan Gubernur Jendral VOC di Batavia untuk mengukuhkan dirinya sebagai Sultan.
Pada tanggal 25 November 1680 Sultan Ageng Tirtayasa sangat marah kepada putra mahkota Sultan Haji karena ia memberi ucapan selamat kepada Gubernur baru Speelman yang menggantikan Rijkolf Van Goens padahal Kompeni baru saja menghancurkan gerilya Banten dan Cirebon.
Dengan bantuan VOC, Sultan Haji melakukan kudeta kepada ayahnya dan menguasai Keraton Surosowan pada tahun 1681.
Pada tanggal 27 Februari 1682, pecah perang antara ayah-anak di Sirosowan. Pasukan Sultan Ageng berkoalisi dengan pasukan gabungan dari Makassar, Jawa Timur, Lampung, Bengkulu, dan Melayu.
Sultan Haji berlindung di loji Belanda dan dilindungi oleh Jacob de Roy dan dipertahankan oleh Kapten Sloot dan W. Cheaff. Tanggal 7 April 1682 pasukan Kompeni dari Armada Laut mendesak Keraton Tirtayasa dan Keraton Surosowan, pasukan tersebut dipimpin Francois Tack, De Sain Martin, dan Jongker.
Pangeran Purbaya dan ayahnya gigih berjuang dibantu Syekh Yusuf dari Makassar serta Pasukan Makassar, Bali, dan Melayu yang bermarkas di Margasana.
Tanggal 8 Desember 1682 Kacarabuan, Angke, dan Tangerang dikuasai VOC, Pangeran Purbaya dan ayahnya bertahan di Kademangan, tetapi pertahanan akhirnya jatuh juga setelah terjadi pertempuran sengit. Pada tanggal 28 Desember 1682, Pasukan Jongker, Michele, dan Tack mendesak Keraton Tirtayasa, Sultan Ageng berhasil menyelamatkan diri dengan terlebih dahulu Pangeran Purbaya membakar Keraton Tirtayasa untuk menyelamatkan ayahnya, Pangeran Kulon, Syekh Yusuf Makassar, dan mengungsi ke Sajira dan Muncang. Sementara Pangeran Purbaya bergerak menuju Jasinga.
Setibanya di Jasinga, Pangeran Purbaya membuat batas pemisahan wilayah antara Banten dan Batavia dengan nama GARISUL (Garis Kesultanan). Ia lalu membuat markas persembunyiannya di lereng Gunung Gede. Di sanalah ia menghabiskan masa gerilyanya sampai kemudian Letnan Untung Surapati dan Kapten Kufeler juga Kapten Ruys menemukannya di Cikalong dan mengajaknya untuk berdamai. Namun sebelum tawaran tersebut diterimanya, terlebih dahulu ia menulis surat wasiat kepada istri dan pengawal-pengawalnya mengenai pembagian tanah warisannya yang terletak mulai dari Bekasi, Jatinegara, Condet, Pondok Cabe, Pamulang, Ciputat, Serua, dan Tjilalung untuk dibagi-bagi secara merata. Setelah itu sejarah mencatatnya ia kemudian ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Namun dalam versi Lontara Makasar menyebutkan, kalau Pangeran Arya dari Jawa menyusul ibunya di Makassar dan tidak menemukan keberadaan ibunya di sana, lalu ia melanjutkan kembali perjalanannya entah ke mana. [*]