Oleh: Agam Pamungkas Lubah
Benarkah negara kita pernah dijajah bangsa Belanda selama 350 tahun? Nanti dulu. Tahan emosi, jangan buru-buru berkomentar.
Dan untuk masuk lebih jauh menggali informasi ini saya menemukan clue lewat Peraturan Tata Pemerintahan Belanda atau yang lebih dikenal dengan istilah Regeeringsreglement Pasal 25 Tahun 1836. Dimana pada aturan ini menyebutkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda berhak melakukan perjanjian internasional. Perjanjian ini banyak dibuat untuk mengatur secara jelas wilayah-wilayah yang dikenal dengan sebutan Swapraja (wilayah atau daerah yang memiliki hak pemerintahan sendiri).
Kemudian ditambah lagi Pasal 44 Tahun 1854 yang menyatakan wilayah Swapraja merupakan kerajaan merdeka yang terletak di dalam lingkungan Hindia Belanda.
Dengan melihat kedua pasal yang dikeluarkan pada tahun yang berbeda tersebut, semakin menguatkan dugaan jika pada paruh kedua abad ke-19 ada sebagian wilayah Swapraja merupakan kerajaan merdeka yang terletak di dalam lingkungan pemerintahan Hindia Belanda. Lantas wilayah mana saja itu? Sabar, pelan-pelan kita akan menuju ke sana.
Sejarawan A.B. Lapian, dalam bukunya Bukan 350 Tahun Dijajah (2012), menyimpulkan bahwa ada tiga jenis negeri yang memiliki pemerintahan sendiri dan terikat penuh ataupun sebagian dengan Belanda.
Pertama, negeri-negeri kecil yang mengakui Belanda sebagai souverein, yang berarti mereka yang memiliki sifat hukum internasional.
Kedua, negeri-negeri yang mengadakan traktat dengan Belanda. Ketiga, negeri-negeri yang mengakui Belanda sebagai ‘leenheer’ (tuan tanah) tanpa mempersoalkan urusan kedaulatan.
Pendapat ini sejalan dengan sejarawan G.J. Resink, ahli hukum internasional berdarah Belanda-Indonesia yang pernah mengangkat tema ini dalam karya monumentalnya, sebuah kumpulan tulisan bertajuk Indonesia’s History Between The Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (1968).
Jika para sejarawan-sejarawan Barat saat itu mengandalkan arsip-arsip resmi birokrasi kolonial, berbeda akan halnya Resink yang lebih memilih membedahnya lewat dokumen-dokumen hukum dan surat-surat perjanjian milik kerajaan-kerajaan di Nusantara. Maklum dia orang hukum.
Dan hasil penelitiannya mengerucut pada kesimpulan bahwa Indonesia tidak dijajah oleh Belanda selama tiga setengah abad. Dan dengan latar belakang keilmuannya itu membuat Resink berhasil memaparkan argumen mengenai hal ini lewat perspektif hukum internasional.
Dirinya mengkaji ulang beberapa argumen penting yang sudah diulas oleh para akademisi terdahulu terutama tradisi pembagian wilayah. Menurutnya jauh sebelum Belanda melakukan pembagian wilayah, masyarakat Jawa, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan wilayah-wilayah lain di Nusantara sudah melakukannya sejak turun-temurun. Pemerintah Hindia Belanda hanya meneruskan apa yang sudah ada dengan aturan yang diperbaharui.
Jadi jelaslah sudah jika pada paruh kedua abad ke-19 ada sebagian wilayah di Hindia Belanda yang berdiri sendiri secara politis, bahkan secara ketatanegaraan. Artinya wilayah-wilayah tersebut atau kerajaan-kerajaan tersebut tidak pernah tersentuh kolonialisme Belanda hingga Indonesia merdeka. Dan wilayah-wilayah tersebut adalah:
Buton
Pulau Buton dahulu merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Buton pada abad ke-12. Pulau Buton merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang sama sekali tidak pernah dijajah. Bahkan semua penduduk Buton tidak pernah mengalami kerja paksa oleh bangsa-bangsa penjajah.
Di abad ke pertengahan, ketika bangsa Eropa seperti Portugis serta Belanda melakukan ekspansi ke Maluku untuk menguasai rempah-rempah, Buton dianggap sebagai wilayah yang strategis karena saat itu menjadi penguasa perairan di Maluku, dan bangsa Eropa harus menjalin hubungan mitra yang baik jika ingin menggunakan pelabuhan untuk menguras rempah-rempah dari tanah Maluku. Wilayah Kerajaan Buton ini secara resmi baru bergabung dengan Indonesia pada tahun 1960.
DI Yogyakarta
DI Yogyakarta di bawah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi daerah di Indonesia yang tidak pernah dijajah oleh bangsa Eropa, terutama Belanda. Saat menjadi Hindia Belanda, Yogyakarta berdasarkan hukum merupakan vassal state yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan pemerintah Hindia Belanda. Ketika itu, Yogyakarta adalah negara federasi dari Hindia Belanda.
Bahkan Yogyakarta pernah menjadi ibukota negera pada saat Agresi Militer Belanda II 1948. Setelah Indonesia merdeka, Yogyakarta secara sukarela bergabung dengan Indonesia. Dan sebagai imbalannya Indonesia memberikan status Daerah Istimewa (DI) kepada Yogyakarta.
Sebenarnya tidak hanya Buton dan Yogyakarta saja yang pernah menjadi wilayah Swapraja. Banyak daerah di Indonesia yang menyandang status Dwapraja yang oleh Hindia Belanda disebut ‘Zelfbestuur’. Seperti Aceh, Sumatera Timur, Riau, Kalimantan Barat, Bali, sebagian besar Sulawesi, Kesultanan Bima, Kesultanan Ternate-Tidore, dan lain-lain.
Karena pada masa Republik Indonesia Serikat, daerah-daerah Swapraja ini pernah menjadi negara federal Indonesia.
Hanya saja untuk mempersingkat tulisan saya, biar pembaca gak ‘boring’, saya hanya mengurai dua wilayah saja untuk mewakili daerah-daerah lain di Nusantara.
Intinya adalah pendapat para sejarawan terdahulu yang mengatakan bahwa Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sepertinya perlu diluruskan kembali keabsahannya. ***