Oleh: Agam Pamungkas Lubah
Begini ceritanya: Lama saya merenungi tentang apa itu sastra, karya dan perkembangannya. Aneh juga ya? Kok bisa? Tapi itulah saya, kalau tidak cepat-cepat saya ungkapkan, bisa gak tidur saya bermalam-malam.
Lanjut… Ribut-ribut mulai dari beberapa tahun silam, seakan saya gemas menyimak arah politik dan polemik sastra yang mengeras. Maraknya bermunculan novel-novel dengan gaya bahasa yang vulgar dan mengandung kontent pornografi, membuat sebagian penikmat sastra terpecah konsentrasinya. Satu sisi mereka mengecam penulis dan penerbit yang mengedarkan novel tersebut, di lain sisi novel-novel tersebut mendapat best seller untuk angka penjualanya. Bahkan nyaris kisah novel-novel tersebut diangkat ke layar lebar.
Di lain pihak seorang penyair dalam esai meminta agar kembali kepada teks. Kembali kepada teks artinya bukanlah menunjukkan kepada publik, “Inilah saya”. Tapi inilah karya sastra, seperti yang terlihat dalam tanggapan balik terhadap Taufik Ismail dalam “Polemik Sastra Pornografi” akhir 2006 silam, di mana Taufik meggedor keterlenaan masyarakat Indonesia melalui orasi kebudayaan yang berjudul “Gerakan Syahwat Merdeka Mengepung Indonesia”.
Indonesia tercengang, terkagum, terdiam, tertunduk, tiarap, dan ada pula yang melawan atas nama kebebasan berekspresi dan berkarya. Kata dibalas kata. Polemik pun berlangsung hingga bulan-bulan ke depan di setiap halaman-halaman sastra dan budaya di media cetak. Berbalas pantun antara pro dan kontra, kadang-kadang melebar ke arah yang tidak konstruktif, emosional, dan picik.
Usai polemik di atas, muncul perang Saut vs Hudan yang sebenarnya gak penting-penting amat mereka mendebatkan soal “parafrase dan close reading” yang pada akhirnya bermuara damai di kedai kopi juga.
Belum lagi ditambah kasus terbaru di mana Saut Situmorang dijemput paksa oleh aparat kepolisian untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus pencemaran nama baik melalui media sosial Facebook yang dilaporkan Fatin Hamama bersama grupnya. Kasus itu terkait dengan polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang mencantumkan Denny JS, pendiri Lingkar Survei Indonesia, yang dianggap Saut dan grupnya belum memiliki konstribusi besar dalam kemajuan sastra tanah air.
Melihat kondisi tersebut di atas, di mana mereka yang saya anggap sebagai tokoh-tokoh barometer perkembangan kesusastraan tanah air ini saling berseteru dengan hal-hal yang saya anggap sepele, alias bisa diselesaikan dengan cara yang lebih santuy asal tidak dengan mengedepankan ego masing-masing, maka saya sebagai anak bawang dalam sastra di negeri ini pada akhirnya memberikan kesimpulan sendiri dalam ruang jiwa yang masuk dalam ruang privat saya. Ruang privat yang saya pelihara dengan baik sejak lepas dari timangan ibu saya. Tapi dalam ruang itu saya mesti menyisihkan juga ruang bagi otensitas saya sendiri. Saya juga harus meyisihkannya untuk ruang bagi nilai in absentia yang saya rindukan.
Sebagai seorang seniman saya harus menangkapnya untuk dihadirkan bukan pada masa depan yang saya anggap masi abu-abu, tapi pada masa sekarang.
Lama saya merenung (kayak orang gila). Menimang-nimang siapa kira-kira Bapak Kesusastraan tanah air yang bisa menjadi panutan saya dalam berkarya. Semua nama-nama penyair bangsa ini yang masih hidup saya sebut. Dari ‘A’ sampai ‘Z’ tak ada yang terlewatkan. Jangan khawatir. Nama Anda juga saya sebut, Om. Tapi sayang, belum ada yang memenangkan selera saya. Saya mohon maaf untuk hal itu. Istri saya bilang, “Abang jangan gila, ya?” Saya tertawa terbahak-bahak. Eh, malah semakin menguatkan dugaan istri saya kalau saya hampir gila.
Pada akhirnya saya membuat kesimpulan: dalam keseluruhan gerak semesta maha-luas ini, kita hanya setitik debu di hamparan pasir. Sebuah kesadaran yang membelah diri dengan radikal, yang tak hanya berpuas dengan tepuk tangan atau menangguk pujian (yang nyatanya kerap dilakukan melalui politik sastra yang berlebihan itu).
Apakah palsu, kalau kita bereksistensi dengan ruang kita sendiri? Palsu yang kumaksud yaitu sebuah tindakan eksistensi yang mengingkari hati nurani, yang dalam dunia politik menjadi samar mana strategi mana niat yang sudah dikebiri. Seperti sebuah karya sastra yang suka membalik angin. Kalau badai besar datang dia sembunyikan ‘tema’nya dalam retorika yang mengebiri pendiriannya. Kalau badai reda, nah, baru dia comeback dengan ‘tema’nya laiknya seorang pujangga handal. Mulai rajin membaca, mahir meng-copy-paste, rajin dan tekun membagi tautannya ke berbagai media biar dianggap eksis. Berusaha tampil ke permukaan meski pada riak semata. Men-judge karya orang lain dengan nilai in absentia.
Sikap gagah-gagahan yang datang dari dunia kanak-kanak seperti itu, tentu bukanlah etos jiwa saya. Mengapa demikian?
Ya, karena saya meyakini, kesusastraan bukanlah sekadar pajangan huruf-huruf untuk olahraga pemikiran. Tidak! Kesusastraan adalah hidup itu sendiri. Hidup dari rentang sakratul maut, dari serius dan main-main. Mungkin main-main adalah bonus bagi jiwa yang resah dan gundah. Mungkin main-main adalah salah satu mekanisme agar orang tidak gila, seperti yang hampir saya alami. Tapi selebihnya kesusastraan adalah upaya menguakkan kebenaran. Tentu saja menguakkan kebenaran bagi sastra adalah mengambil jalan menikung. Dalam tiap tikungan itu ia melambung, melambungkan pikiran untuk berimajinasi secara bebas. Tubuh boleh mati. Tapi pikiran kita akan abadi sebagai obor bagi mereka yang mencoba meraih misteri Tuhan dalam tiap bidangnya. Seperti apa yang sudah dialami sang maestro Pramoedya Ananta Toer, budayawan kawakan yang Novel Roemah Boeminya diangkat ke layar lebar saat ini.
Dalam dunia semacam ini, sungguh tak ada tempat bagi sifat yang palsu. Di mana semua orang bisa berkarya lewat media apa saja. Apalagi sikap yang hanya seolah-olah telah berhasil menguakkan kebenaran dalam kesusastraan lalu menghadirkanya dengan paksaan, padahal ia baru berjalan-jalan di kulit kebenaran. Kulit yang terasa sebagai dunia formal-moral yang hendak mengkerangkeng kebebasan manusia dalam tiap ciptaan dan ekspresinya dari mereka yang miskin tafsir.
Nah, karena tidak mau terkerangkeng itulah, saya mencoba membuat kategori sendiri dalam upaya merebut makna dunia. Makna yang saya kategorikan sebagai takdir dunia, misteri dunia dan tafsir dunia yang ada dalam Taman Semesta saya.
Begitulah segala hal menjadi mungkin; sebuah karya sastra mencari logika untuk dirinya sendiri. Hukum untuk dirinya sendiri. Batas-batas dibenturkan dan dirobohkan, sastra melesat ke dalam logika “fakta-fiksi”-nya sendiri. Seperti sang jenderal yang ngopi di saung dengan tangan kiri, padahal jenderal minum dengan tangan kanannya.
Seperti itulah saya mendeskripsikan kondisi kesusastraan kita saat ini. Dan sebagai penutup tulisan saya ini, saya ingin mengatakan bahwa sastra itu terutama bukanlah kerja otak, tapi kerja hati. Hati yang bening untuk berendah diri menangkap dan mengungkap misteri kehidupan itu sendiri. [*]
HISTORIA Tangsel
“Roemah Boemi”
23 Oktober 2020