Oleh: Agam Pamungkas Lubah
MEDIATANGSEL.COM – Musim kemarau berkepanjangan menyebabkan Waduk Jatigede mengering. Pasalnya cuaca ekstrem yang terus menerus yang merupakan efek dari perubahan iklim global dianggap sebagai pemicu utama mengeringnya Waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat.
Waduk yang digadang-gadang sebagai waduk terbesar kedua di Indonesia dengan luas 4.950 hektare dan menenggelamkan kurang lebih 25 situs megalitikum masa prasejarah ini, pada akhirnya menyerah pada takdirnya dengan alam alias mengering.
Waduk yang sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda telah direncanakan pembangunannya ini sejak awal menuai aksi protes dari masyarakat dan sejumlah tokoh adat Sumedang kala itu. Beberapa kali upaya pemerintah merayu masyarakat lokal dengan dalih kesejahteraan masyarakat luas terus digalakan. Mulai dari tahun 1982, 1988, dan pada akhirnya berhasil dioperasikan pada tanggal 31 Agustus 2015.
Seperti waduk lainnya, Waduk Jatigede pun memiliki fungsi utama untuk sarana irigasi dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Selain itu juga berfungsi sebagai sarana budidaya perikanan air tawar, sarana olahraga air, sarana rekreasi, dan lain sebagainya.
Waduk Jatigede difungsikan sebagai pusat pengairan untuk 90.000 hektare lahan pertanian produktif di Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengka. Selain itu, air dari Waduk Jatigede juga dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berdaya 110 Megawatt.
Dilihat dari pemanfaatannya waduk ini cukup memberi manfaat yang luar biasa bagi masyarakat dan pemerintah daerah. Tapi jika kita melihat dari dampak sosial lain yang ditimbulkan akibat dari mega proyek ini maka kita sebagai pegiat sejarah hanya bisa mengelus dada. Bagaimana tidak, dari 28 desa yang ditenggelamkan di sana terpendam pula kurang lebih 25 situs cagar budaya peninggalan zaman megalitikum. Seperti makam-makam Islam dengan konstruksi punden berundak. Mereka seperti tak memiliki nilai sama sekali. Ibarat barang rongsok yang tak memiliki nilai jual di pasaran. Ikut tenggelam bersama 979,5 meter kubik air di atas pusaranya.
Bukankah keberadaan situs-situs tersebut memiliki arti dan nilai yang penting untuk
pendalaman pengkajian sejarah kuno Jawa Barat?
Informasi arkeologis dan kesejarahan yang dikandung dalam situs-situs tersebut, baik secara tersurat mapun tersirat, mengandung makna bahwa masyarakat Jatigede dan sekitarnya, sejak awal keberadaannya sudah memiliki budaya yang mapan. Masyarakat sudah hidup dengan pola menetap, memiliki pengetahuan dan pengalaman bercocok tanam dan membuat barang-barang keperluan rumah tangga dan keperluan hidup lainnya. Mereka juga sudah memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme, dan bla bla bla….
Dan kini situs-situs tersebut kembali hadir di atas waduk yang mengering. Seolah memberi isyarat kepada kita bahwa, “Kami masih di sini dan akan tetap di sini, sampai apa yang dicari anak cucu kami tidak lagi memberikan manfaat bagi mereka.”
Sebuah pembelajaran penting bagi kita yang masih hidup. Tak ada yang menyangka jika di suatu masa nanti pusara kita akan bernasib serupa dengan mereka, bahkan jauh lebih menyedihkan.
Ini perkara yang serius dan tak bisa dianggap sepele oleh pemerintah. Untuk itu, perlu sebuah perlindungan hukum yang kuat bagi benda-benda cagar budaya agar mendapat perlindungan negara dengan baik sehingga kelestariannya dapat dinikmati sampai ke anak cucu kita ke depannya. ***
Wallahu a’lam bishawab
Semoga Manfaat
HISTORIA Tangsel
Padepokan Roemah Boemi Pamoelang
Rabu, 11 Oktober 2023