Oleh: Agam Pamungkas Lubah
Setidaknya ada dua versi yang menceritakan tentang sosok Pucuk Umun. Pertama versi Sumedang. Kedua versi Banten. Tapi kali ini saya hanya membahas soal versi Banten saja.
Pucuk Umun, atau yang memiliki nama Raga Mulya adalah raja terakhir Kerajaan Sunda (1567-1579 M) yang beribu kota di Pakuan Pajajaran. Menggantikan Ratu Nilakendra. Nama ini dalam naskah Wangsakerta disebut juga sebagai Prabu Suryakancana, sedangkan dalam Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Nusya Mulya (dalam rujukan).
Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari (mungkin raja ini berkedudukan di Desa Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari).
Dalam konteks Banten, ia adalah paman dari Sultan Maulana Hasanuddin yang dikalahkan dalam cerita rakyat melalui adu ayam dan menyerahkan takhtanya. Masyarakat Baduy percaya bahwa Pucuk Umun merupakan ‘Puun’ mereka. Puun merupakan pimpinan adat Suku Baduy, yang memiliki tingkatan paling tinggi dalam struktur masyarakat Suku Baduy. Begitu tingginya gelar Puun, Suku Adat Baduy tentu akan mendengarkan semua titah dari Puun karena Puun sendiri merupakan pemegang kebijakan.
Dalam versi cerita rakyat, Cerita “Pertarungan Sultan Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun” ditulis oleh Nur Seha berasal dari daerah Banten. Kisah ini bercerita tentang kehidupan Sultan Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertama di Banten. Dia memiliki seorang kakek yang bernama Prabu Surawosan dan paman yang bernama Prabu Pucuk Umun. Suatu hari, Prabu Surawosan sakit keras. Sebelum dia meninggal, dia beramanat pada keluarganya agar selalu memegang teguh ajaran Sunda Wiwitan dan mempertemukan Hasanuddin dengan ayahnya, Sultan Syarif Hidayatullah untuk membicarakan soal akidah negara.
Suatu hari, Hasanuddin berseteru dengan Prabu Pucuk Umun berkaitan masalah akidah apa yang akan diterapkan dalam masyarakat. Mengingat masyarakat Banten memiliki kepercayaan teguh pada ajaran Sunda Wiwitan yang dibawa oleh leluhurnya.
Penyelesaian masalah dilakukan dengan mengadakan pertandingan adu ayam. Akhirnya Prabu Pucuk Umun kalah dan menyerahkan takhtanya kepada Hasanuddin.
Namun permohonan terakhir Pucuk Umun sebelum ia menyerahkan Banten kepada Maulana Hasanudin, agar keponakannya itu mengizinkan ia membawa masyarakatnya yang masih setia padanya dan ajaran Sunda Wiwitan ke pedalaman hutan Pulosari.
Kesepakatan pun tercipta dengan damai. Cerita ini mengajarkan sejarah dari daerah Banten yang mengandung nilai-nilai kepemimpinan dari Maulana Hasanuddin dan Pucuk Umun yang memiliki jiwa besar.
Itulah mengapa sampai sekarang masyarakat Banten hidup dengan damai bersama masyarakat Baduy meski berbeda keyakinan. [*]